bocoran sydney komplit wanwantoto: Polemik pemaknaan pasal 71 UU Pilkada

Telaah

Polemik pemaknaan pasal 71 UU Pilkada

  • Oleh Dr. Sahran Raden,bocoran sydney komplit wanwantoto S.Ag, SH, MH *)
  • Kamis, 10 Oktober 2024 17:28 WIB
Polemik pemaknaan pasal 71 UU Pilkada
Ilustrasi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 (ANTARA/HO)
Jakarta (ANTARA) - Salah seorang anggota DPRD di Sulawesi Tengah, saat ngopi pagi di salah satu warung kopi di Kota Palu menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat mengikuti kegiatan kampanye sebagai tim kampanye pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024.

Sesuai dengan tahapan Pilkada serentak 2024, masa kampanye telah dimulai pada 25 September dan akan berakhir pada 23 November.

Anggota DPRD itu merasa terhambat dengan norma pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pasal tersebut menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan kepala desa atau sebutan lain lurah, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Pelanggaran atas ketentuan tersebut akan dikenai sanksi pidana.

Masalah inilah yang menimbulkan kekhawatiran bagi anggota DPRD untuk ikut serta dalam pelaksanaan kampanye.

Dalam konteks penalaran hukum yang wajar, tulisan ini merupakan jawaban dalam konteks hukum. Apakah ketentuan dalam pasal 71 ayat (1) UU Pilkada tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kegiatan kampanye ataukah sebagai tindakan perbuatan pemerintahan.

Dalam kerangka hukum pemilu, sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana perangkat hukum pemilu memberikan keadilan pemilu dan kepastian hukum.

Pertanyaannya adalah apakah ketentuan pasal 71 ayat (1) UU tersebut merupakan kategori kegiatan kampanye ataukah merupakan perbuatan tindakan pemerintahan?

Dalam pengalaman sebagai penyelenggara pemilu selama 10 tahun di KPU Provinsi Sulawesi Tengah, saat menyelenggarakan beberapa pilkada, tidak pernah muncul polemik terkait pemaknaan ketentuan pasal tersebut.


Hukum kampanye

Kampanye dalam konstruksi regulasi pada Undang Undang Pemilihan, didefinisikan sebagai kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon kepala daerah.

Calon kepala daerah yang dimaksud di sini adalah calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota.

Konstruksi norma tentang kampanye juga diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang diundangkan pada 20 September 2024.

Kampanye sebagai kegiatan menyampaikan visi, misi, dan program pasangan calon dilakukan dengan berbagai metode, seperti pertemuan terbatas, dialog, kunjungan ke pasar, debat calon, rapat umum, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, serta kegiatan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan.

Kampanye juga dilakukan oleh pasangan calon, tim kampanye, partai politik dan gabungan partai politik pengusul pasangan calon serta orang lain yang diberi tugas oleh pasangan calon. Setiap pelaksanaan kampanye dilakukan oleh petugas kampanye yang memfasilitasi pelaksanaan kampanye pasangan calon.


Tindakan pemerintahan

Terhadap pelanggaran pasal 71 ayat (1) UU Pilkada ini memiliki sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2015, Pasal 188. Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dipidana dengan pidana penjara antara satu hingga enam bulan dan/atau denda antara Rp600 ribu hingga Rp6 juta.

Frasa “pejabat daerah” dalam pasal 71 UU Pemilihan tersebut telah menimbulkan tafsir yang berbeda-beda antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilu. Pasal ini menimbulkan kekhawatiran bagi anggota DPRD yang dianggap sebagai pejabat daerah sebagaimana maksud norma tersebut.

Pada penjelasan pasal tersebut, istilah “pejabat daerah” merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam UU itu disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

DPRD, dalam konteks regulasi di atas, memiliki kedudukan sebagai satu kesatuan pemerintah daerah bersama dengan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.

Pasal 94 UU Pemerintah Daerah menyatakan bahwa DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD merupakan lembaga perwakilan yang merepresentasikan kehendak dan kedaulatan rakyat yang dipilih melalui pemilu.

Pengaturan berkaitan dengan DPRD sebagai pejabat daerah dapat ditemukan juga dalam pasal 95 ayat (2) bahwa anggota DPRD provinsi adalah pejabat daerah provinsi, begitu pula pada anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat daerah kabupaten/kota.

DPRD sebagai lembaga penyelenggara pemerintah daerah memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Tiga fungsi  yang dijalankan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindakan pemerintahan.

Dalam konteks hukum administrasi negara bahwa perbuatan hukum tindakan pemerintahan dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan atau bestuursorganen dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.

Sementara keputusan dalam konteks hukum dapat dikategorikan sebagai keputusan administrasi pemerintahan. Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut keputusan tata usaha negara atau keputusan administrasi negara adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian frasa “pejabat daerah”, dalam hal ini yang dimaknai sebagai anggota DPRD, dalam UU Pilkada bukanlah termasuk pihak yang dilarang untuk berkampanye dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2024.

Tidak ada ketentuan pidana jika anggota DPRD berkampanye, kecuali terkait dengan larangan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Perbuatan untuk membuat keputusan dan/atau tindakan dalam norma pasal ini masuk dalam kategori tindakan perbuatan kebijakan pemerintahan.

Kampanye pemilihan serentak 2024 sesuai ketentuan UU Pilkada maupun Peraturan KPU tentang kampanye dilakukan dengan berbagai metode, melalui pertemuan terbatas, debat calon, rapat umum, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye. Kampanye, selain dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah, juga dilakukan oleh partai politik dan gabungan partai politik pengusul pasangan calon serta tim kampanye atau pihak lain yang ditugaskan oleh pasangan calon kepala daerah.


Tidak dilarang

Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pilgub, Pilbub dan Pilwali tidak terdapat larangan anggota DPRD menjadi tim kampanye. Pasal 7 ayat 1 peraturan tersebut menyatakan "Dalam melaksanakan kampanye, pasangan calon bersama partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik peserta pemilu membentuk tim kampanye". Ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara tegas bahwa anggota DPRD dilarang menjadi tim kampanye, karena sesungguhnya anggota DPRD merupakan bagian dari partai politik.

Larangan kampanye dalam pilkada hanya terbatas pada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, pejabat negara atau pejabat daerah yang mengikuti kampanye menggunakan fasilitas negara terkait dengan jabatannya, dan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya.

Sementara kegiatan kampanye pilkada bukan merupakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya, tetapi berkaitan dengan pelaksanaan kampanye pilkada, dimana pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Jadi dengan demikian, tidak ada larangan berkampanye bagi anggota DPRD sebagai pemegang kursi parlemen, termasuk menjadi ketua dan anggota tim kampanye pasangan calon.

Meskipun anggota DPRD dikategorikan sebagai pejabat daerah, bukanlah termasuk yang diatur dalam ketentuan pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan.

Sebab frasa "dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon" bukanlah pada konteks pelaksanaan kampanye, namun pada perbuatan tindakan pemerintahan mengenai tugas dan fungsinya. Sehingga apabila anggota DPRD membuat keputusan dan tindakan pemerintahan sesuai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan itulah yang masuk larangan kualifikasi pada ketentuan pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan.

Dalam konteks pelaksanaan kampanye, anggota DPRD merupakan bagian dari partai politik pengusul pasangan calon dalam pilkada yang memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.

 

*) Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu

Copyright © ANTARA 2024

相关内容